Tuesday, September 26, 2017

Warna Warni Mempawah Mangrove Park



Jika di Bali ada La Plancha yang terkenal dengan pantai warna-warni dari payung dan kursinya, maka di Kalbar juga ada nih wisata pesisir dengan menyuguhkan keindahan warna-warni yang tidak kalah menariknya. Tempat tersebut bukan kafe, bukan juga tempat karaoke yang kadang didesain warna- warni, tetapi ini adalah alam bebas dengan keindahan yang mempesona. Apalagi kalau bukan wisata Mangrove Park Mempawah.

Dari namanya saja kita sudah tahu, kalau tempat wisata ini adalah merupakan wisata di area pohon bakau yang umumnya banyak terdapat didaerah pesisir Indonesia. Tapi itu dulu. Sekarang keadaan pohon bakau di pesisir Indonesia sudah banyak yang rusak akibat pengeksploitasian yang terlalu berlebihan tanpa ada penanaman kembali. Akibat dari kerusakan pohon bakau tersebut jugalah mengakibatkan abrasi wilayah pesisir semakin meningkat tajam.

Tapi, masih banyak yang peduli terhadap keberlangsungan pohon mangrove. Salah satunya wisata mangrove Park Mempawah ini nih yang dikelola oleh tangan-tangan orang yang hebat dan peduli. Dulunya daerah ini merupakan daerah abrasi dengan kecepatan yang cukup tingggi akibat kerusakan pohon mangrove tersebut. Salah satu buktinya adalah keberadaan Bukit penibung yang sekarang telah berpisah dengan daratan mempawah akibat abrasi pantai yang selalu terjadi. Karena sudah berada ditengah laut, sekarang bukit tersebut disebut pulau penibung.

Karena kehebatan dari tangan-tangan Pengelolah Wisata Mangrove ini lah, dulunya berupa pesisir yang terus mengalami abrasi, sekarang di sulap menjadi hijau dengan banyaknya ditumbuhi pohon mangrove. Suksesnya penanaman mangrove ini ternyata juga memberikan banyak hal yang positif yang lainnya. Salah satunya yaitu adanya tempat wisata ini dan tumbuhnya pedagang kecil disekitar tempat wisata. Begitulah, jika kita selalu menjaga alam untuk lestari, maka kebaikan juga akan selalu mengikuti kita. Betul gak?


Wisata mangrove ini tidak terlalu jauh untuk dikunjungi guys. Hanya sekitar 5 Km dari pusat kota Mempawah dan lokasinya tepat berada disamping Tugu Makam Pahlawan Mempawah. Dan jika anda berkunjung dari arah Kota Pontianak, jarak yang di tempuh yaitu sekitar 89 Km atau dengan waktu kurang lebih 2 jam 10 menit. Selain mengunjungi Mempawah mangrove park, anda juga bisa mengunjungi tempat wisata yang lainnya. Seperti Pantai Kijing, Sebukit Rama, wisata penibung atau bersantap kuliner di terminal mempawah. Disini juga tersedia jasa penyeberangan ke Pulau Penibung yaitu dengan membayar Rp. 30.000 per orang. Dan jika hanya ingin sekedar mengelilingi Pulau Penibung saja harganya akan lebih murah yaitu Rp. 20.000 per orang.


Untuk masuk ke tempat wisata ini, anda tidak perlu merogoh kocek yang terlalu dalam. Cukup hanya dengan Rp. 5.000 sudah bisa menikmati keindahan alam mangrove tanpa batas. Harga tersebut pun dikenakan untuk yang umum. Anda bisa memperoleh harga yang murah lagi jika anda menunjukkan identitas pelajar anda. Loket pembayaran di wisata ini juga unik, yaitu berupa bangunan non permanen alias hanya berdindingkan papan dan beratapkan atap daun. Jadi kesannya terlihat sangat asri dan pas dengan view pohon bakaunya yang hijau. 


Setelah membayar, kami pun langsung berpetualang dibawah rindangnya pohon bakau. Tenang saja guys, untuk menjelajahi wisata ini anda tidak harus berjalan diatas lumpur dan terselit diantara pohon mangrove. Karena disini sudah disediakan jembatan (atau geretak dalam bahasa Melayu Mempawah) yang akan menghubungkan dari spot yang satunya ke spot yang lain. Jembatan disini tidak hanya memiliki satu jalur saja, namun juga memiliki bebrapa cabangg. Tinggal dipilih saja maunya belok kekiri, belok kekanan atau manya yang lurus. Jangan khawatir, disini anda tidak akan tersesat karena disetiap persimpangan jembatan juga dilengkapi tulisan penujuk jalan. Kalaupun tersesat, paling kesasarnya dibelakan rumah warga. Hehehe.


Yang membuat unik jembatan ini adalah karena warnanya yang warna warni. Unikkan? Jembatan ini sengaja di cat biar bisa memberikan kesan yang menarik ketika pengunjung datang berwisata. Jika anda capek ketika berjalan-jalan menyusuri bakau, Anda tidak perlu khawatir! Karena disepanjang jembatan juga tersedia tempat santai untuk mengistirahatkan tubuh anda sejenak. Tempat santai yang berbentuk kursi ini pun beraneka ragam. Mulai dari yang muatnya hanya untuk berdua (Biasanya kalau yang berdua ini diidentik dengan sepasang kekasih) atau pun dengan muatan yang lebih banyak (biasanya digunakan keluarga besar yang lagi bersantai). Hehehe, seperti kendaraan saja yang pakai muatan.

Semakin menyusuri bagian dalam, semakin banyak juga tempat menarik yang kami jumpai. Salah satunya adalah sebuah pendopo atau gubuk yang cukup luas. Tapi ini bukan gubuk bambu miliknya Megi Z! Ini adalah pendopo yang bergungsi untuk memberikan informasi-informasi mengenai mangrove yang bisa dibaca oleh pengunjung. Jadi sangat jelas, selain Mempawah Mangrove Park sebagai tempat rekreasi, namun juga sebagai sarana edukasi mengenai mangrove.


Tidak hanya sampai disitu, kami masih tetap menyusuri jembatan ini hingga keujungnya. Di ujung sini kami menemui sebuah tempat bermain anak-anak yang berupa seluncuran. Ingat ya, khusus untuk anak-anak! Bukan orang dewasa. Sehingga tempat ini juga cocok bagi orang tua yang ingin memanjakan anak-anak (Sesekali anaknya dibawa untuk liburan, biar tidak bosan dengan rutinitas belajar disekolah). Tempat bermain anak-anak ini lokasinya berada didaratan. Sehingga tidak perlu khawatir jika anak anda akan kecemplung diatas lumpur.


Di mangrove Park Mempawah ini juga banyak menyediakan pendopo-pendopo yang bisa digunakan para pengunjung untuk bersantai dengan keluarga atau teman-teman. Entah itu pendopo yang berada didalam hutan bakau ataupun dipesisirnya. Bagi saya, di pendopo ini sangat cocok untuk makan lesehan berasama. Tinggal membawa tikar saja dan makanan-makanan. Tapi ingat, harus selalu menjaga kebersihan dan tidak membuang sampah sembarangan. Agar tempat wisata ini bisa tetap lestari dan terjaga keindahannya.




Setelah puas bersantai dibawah rindangnya pohon bakau, selanjutnya kami meyusuri jembatan yang berada di luar pohon bakau. Disini keindahannya juga tidak kalah menarik seperti yang ada di dalam sana. Malahan disini terlihat lebih banyak pengunjung. Angin sepoi-sepoi di sore hari juga akan membuat para pengunjung betah untuk bersantai lebih lama. Terdapat banyak spot foto yang menarik untuk dihampiri. Salah satu yang sangat menarik bagi kami adalah pemanfaatan dari limbah kulit kayu yang didekorasi dengan sedemikian menariknya. Jangan heran, jika untuk berfoto disini saja mesti mengantri dengan para penginjung yang lainnya


Disini kami juga menemui sekelompok ibu-ibu yang lagi serunya mengabadikan momentnya. Ini membuktikan, kalau tempat ini tidak hanya dikunjungi oleh anak-anak muda saj, namun juga para ibu-ibu. Walaupun sudah tua, tidak mesti menjadi penghalang untuk berkumpul bersama teman-teman dan seru-seruan. Karena keseruan itu diciptakan oleh diri kita sendiri.


Setelah cukup puas mengambil beberapa foto, selanjutnya kami melanjutkan perjalanan kembali untuk mencari spot lainnya. Kali ini kami menemui sebuah spot yang sangat unik dan tidak kalah menarik dengan spot yang lainnya. Yaitu sebuah jembatan yang berukuran tinggi dengan tulisan '#Save Mangrove'. Lagi-lagi uniknya dari spot disini adalah selain jembatannya yang di cat warna-warni, namun batu pemecah ombak juga di cat warna-warni. Sehingga memberikan kesan yang menarik bagi setiap pengunjung yang datang. Karena dari itulah judul artikal ini saya tulis 'Warna Warni Mempawah Mangrove Park'.


Jembatan tinggi ini juga menghubungkan ke sebuah tempat santai dengan view berupa Pulau Penibung, yang dulunya bersatu dengan daratan Mempawah. Disini kami habiskan waktu untuk bersantai dan menikmati matahari yang akan terbenam. Hal yang harus diketahui, Mempawah Mangrove Park ini merupakan salah satu tempat yang terbaik untuk menikmati sunset. Selain karena lokasinya yang langsung menghadap ke arah barat, namun juga karena adanya view Pulau Penibung. Tapi sayang, ketika kami berkunjung disini sunsetnya tertutup oleh awan.

Semoga dengan kesuksesan dari Mempawah Mangrove Park ini bisa diikuti juga oleh daerah-daerah yang lainnya.

Friday, September 22, 2017

Kamu Orang Bugis Atau Makassar Ya?

Tags
Sumber Gambar: Kaskus.co.id

Sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari, yaitu mendatangi setiap rumah yang ingin mendaftar les privat. Sebelumnya perkenalkan dulu. Selain sebagai mahasiswa, sehari-hari saya juga berkerja di sebuah penyedia jasa les privat terbesar yang ada di Kota Pontianak. Di tempat tersebut saya berkerja sebagai penarik iuran sekaligus juga mengurusi bagian pendaftaran. Karena sering kesana-sinilah, saya hapal setiap jalan yang ada di Kota Pontianak. Dari hasil kerja tersebut, saya bisa membayar biaya kuliah dan kebutuhan sehari-harinya.

Pada hari kemarin, saya mendatangi sebuah rumah yang berada di deretan jalan Bukit Barisan, Kota Pontianak. Singkat cerita, pemilik rumah yang berencana akan untuk mendaftarkan anaknya mempersilahkan saya masuk dan dusuk diatas kursi. Seperti biasanya, saya selalu menjelaskan mengenai sistem les privat dimana tempat saya berkerja ini. Karena ibunya menggunakan bahasa Indonesia, pastinya saya juga harus menyesuaikan, menggunakan bahasa indonesia. Semuanya tergantung keadaan. Jika pemilik rumah menggunakan bahasa Melayu, pastinya saya juga menggunakan bahasa Melayu. Semuanya dilakukan agar komunikasi bisa lebih efektif dan apa yang ingin diberitahukan bisa tersampaikan dengan baik.

Setelah menjelaskan dengan panjang lebar dan diselingi tanya jawab, tiba-tiba ibu tersebut bertanya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan les privat.

"Kamu orang Bugis atau Makassar ya?" Tanya ibu disela-sela ketika saya berhenti menjelaskan.

Saya heran, kenapa ibu ini bisa tahu kalau saya ini merupakan keturunan bugis. Padahal keseharian saya sudah seperti melayu. Dari kecil juga menggunakan bahasa Melayu walaupun hidup dilingkungan mayoritas Bugis.

"Iya Buk. Saya orang Bugis." Jawab saya kepada ibu dengan tersenyum, meskipun di benak saya masih bertanya-tanya kenapa ibu ini bisa tahu kalau saya merupakan orang Bugis.

"Betulkan". Timpal ibu tersebut. "Saya bisa tau loh identitas setiap orang yang saya temui." Ibu tersebut melanjutkan pembicaraanya sambil tersenyum.

Mantap juga ibu ini. Bisa mengetahui identitas setiap orang yang dia temui. Dan saat itu juga saya semakin penasaran, dari mana ibu ini bisa tau? Apa dari wajah saya? Ah, mana mungkin kalau hanya dari wajah. Karena wajah Bugis dan Melayu Kalbar itu sulit di bedakan, bagai pinang dibelah dua.

Karena rasa penasaran saya semakin besar, saya pun memutuskan untuk bertanya langsung. "Kenapa ibu bisa tahu kalau saya ini orang Bugis atau Makassar? Ibu paranormal ya?" Tanya saya dengan sedikit tertawa.

"Dari logat kamu berbicara. Jadi, saya bisa tahu identitas setiap orang yang saya jumpai melalui pembicaraannya. Entah itu Bugis, Melayu, Batak, Jawa, Dayak dan yang lainnya ." Ibu tersebut menjelaskan.

Saya masih penasaran, masa iya hanya dari pembicaraan saya saja, dia sudah bisa tahu identitas saya. Bukankah logat saya lebih melayu dan bahkan di keluarga pun saya sering menggunakan bahasa melayu ketimbang bahasa Bugis. Adapun orang Bugis di Kalbar jika berbahasa Bugis logatnya tidak lagi seperti yang ada di Sulawesi selatan, melainkan logatnya sudah seperti Melayu. Bahkan teman-teman kuliahku pun tidak tahu jika aku keturunan Bugis.

Karena masih penasaran, saya bertanya lagi. "Saya masih penasaran Buk. Padahal dalam sehari-hari saya menggunakan bahasa Melayu dan logat bicara saya pun seperti Melayu yang lainnya. Bahkan walaupun keluarga saya orang Bugis, tapi logat bicaranya juga seperti orang Melayu pada umumnya yang ada di Kota Pontianak."

"Tentu ada sedikit perbedaan yang tentunya tidak semua orang bisa mengetahuinya." Jawab ibu tersebut sambil tertawa.

Pembicaraan tidak hanya sampai disitu. Ibunya juga bertanya dimana tempat tinggalku dan sudah berapa lama sudah berada di Kalbar. Saya jawab kalau saya lahirnya disini dan bahkan orang tua juga lahir disini. Dari pembicaraan tersebut juga, saya tahu kalau ibu sebenarnya bukan berdomisili di Pontianak, melainkan di Sanggau. Datang ke Pontianak hanya sekedar untuk mengantar anak yang akan melanjutkan sekolah ke tingkat SMA. Sesekali ruangan juga dipenuhi suara tawa yang membuat pembicaraan kami lebih terasa santai.

Sebelum pamit pulang, suami ibu tersebut juga sempat menantang saya untuk menebak identitas dirinya.

"Kalau menurut kamu, kira-kira saya ini orang apa?" Tanya Bapak tersebut.

"Orang campuran Pak." Jawab saya. Benar atau salahnya yang penting sudah menjawab.

"Campuran apa?" Bapak tersebut kembali bertanya sambil tertawa.

Sambil tertawa saya juga menjawab "Tidak tahu juga Pak. Tapi kemungkinan ada campuran Melayunya."

Bapak tersebut kembali tertawa terbahak-bahak. "Sebenarnya saya ini campuran Jawa dan Batak. Bapak saya orang Batak dan ibu saya orang Jawa. Makanya dibelakang nama anak saya juga diikuti dengan kata Harahap." Jelas Bapak tersebut.

Setelah berbicara panjang lebar dan formulir pendaftaran les privat telah diisi, saya pun pamit izin pulang. Karena ada beberapa tempat lagi yang harus saya datangi malam ini juga.


Thursday, September 21, 2017

Keris Ajaib - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah



Dahulu kala, di salah satu kampung didaerah Gunung Bawang yang ada di Kalimantan Barat, tinggallah seorang janda beranak satu yang bernama Mak Ngah. Wanita bersahaja itu memiliki anak perempuan berparas cantik jelita yang bernama Maniamas. Maniamas merupakan kembang kampung disana dan sering menjadi buah bibir orang-orang karena kecantikannya.

Di rumah mereka yang sederhana juga tinggal dua orang pemuda. Keduanya adalah keponakan Mak Ngah, yang masing-masing bernama Gurete dan Ranto. Kedua pemuda bersaudara itu adalah anak dari kakak tertua Mak Ngah. Sehari-hari mereka hidup dari hasil berladang dan kebun getah peninggalan suami Mak Ngah.

Pada suatu hari, disekitar Gunung Bawang terjadi peristiwa yang sangat memalukan. Seorang laki-laki dari kampung Ngayo bernama Mamo melakukan perbuatan tercela di Gunung Bawang. Hal itu membuat nama kampung tersebut tercemar dan mendapat malu. Para pemuda di Kampung Bawang menjadi marah dan kemudian sepakat mencari keberadaan Mamo.

Para pemuda di Kampung Bawang kemudian memutuskan berangkat beramai-ramai mencari Mamo. Rencananya Gurete juga ikut serta dalam rombongan pencari. Tapi adiknya, Ranto, tidak ikut mencari dengan alasan sakit. Padahal sebenarnya itu hanya akal-akalannya saja, karena sebenarnya Ranto punya rencana lain, pemuda itu jatuh cinta pada Maniamas. Pikir Ranto, ini adalah kesempatannya untuk memadu kasih dengan Maniamas.

“Maniamas, aku tidak ikut mencari Mamo, sebab aku tak sanggup berpisah denganmu. Ini adalah kesempatan kita untuk memadu kasih, berdua-duaan tanpa ada yang mengganggu. Lagi pula, siapa yang akan menjagamu dan Mak Ngah.” Ujar Ranto pada Maniamas.

“Tapi, apa Bang Gurete mengetahui hal itu?” Tanya Maniamas berbalut ragu.

“Nanti aku akan bilang pada Bang Gurete alasan kenapa aku tidak ikut.” Jawab Ranto.

Ranto lantas menemui Gurete dan berkata. “Bang, sepertinya aku tidak bisa ikut mencari Mamo. Karena diriku sedang tidak enak badan.” Ujar Ranto sambil terbatuk-batuk.

Gurete menatap adiknya penuh pengertian. “Baiklah. Tapi selama aku pergi, kamu harus menjaga Mak Ngah dan Maniamas. Urus mereka dengan sebaik-baiknya.” Pesan Gurete.

“Baik. Aku akan menjaga mereka selama Abang pergi.” Janji Ranto.

***

Setelah sekian lama mencari keberadaan Mamo, Gurete yang ikut didalam rombongan tak kedengaran lagi kabarnya. Namun, setahun kemudian Gurete tiba-tiba pulang. Tapi dia heran. Ketika masuk kedalam rumah Mak Ngah dia mencium ada ketidakberesan yang terjadi.

“Mak Ngah, apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang tidak beres kudengar yang terjadi dirumah kita ini.” Tanya Gurete pada Mak Ngah dengan sejuta heran.

“Apa yang hendak dikata, Gurete. Adikmu Maniamas dan Ranto memadu kasih.” Jelas Mak Ngah dengan wajah muram.

“Memadu kasih seperti apa Mak Ngah? Tanya Gurete berang.

“Seperti sepasang kekasih. Mesti mereka tak melanggar batas norma sosial yang ada tapi hal tersebut dilarang, mengingat mereka adalah bersaudara.” Jawab Mak Ngah sedih.

“Kemana mereka sekarang, Mak Ngah?” Tanya Gurete lagi dengan nada tinggi.

“Mereka sekarang berada di ladang.” Jelas Mak Ngah.

Mendengar itu Gurete semakin naik pitam. Setelah minta izin sama Mak Ngah, dia pun segera menyusul mereka ke ladang. Dia mau memberi pelajaran pada Ranto dan Maniamas yang telah berbuat ulah hingga membuat malu keluarga.

Ketika mengetahui kedatangan Gurete, diam-diam Ranto pun melarikan diri entah kemana. Sedangkan Maniamas lari menuju kearah Selatan Gunung Bawang hingga Gurete tak berhasil menemukan keduanya.

Setelah berlari sejauh mungkin, Maniamas pun sampai disuatu tempat, dibawah pohon besar dan rindang. Disanalah dia kemudian bermukim. Anehnya, walau tak pernah melakukan perbuatan terlarang dengan Ranto, namun hari demi hari perutnya kian membesar seperti orang yang lagi mengandung. Maniamas merasa panik. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya.

Beberapa bulan kemudian, di dalam hutan itu Maniamas pun melahirkan. Tapi ajaibnya, bukan seorang anak yang dilahirkannya melainkan sebuah keris. Namun keris itu sepertinya bukan sembarang keris karena berprilaku layaknya anak manusia. Keris itu lincah dan dapat bergerak kesana kemari. Naik turun diatas pohon kayu, melompat dari pohon satu ke pohon yang lain dan sesekali juga menangis.

Dalam hati Maniamas berkata, bahwa bayinya yang berbentuk sebilah keris itu tentulah akan menyusahkan dirinya kelak. Melihat itu, Maniamas bertekad meninggalkan anak kerisnya, pergi dari sana dengan tujuan yang tak tentu arah. Si keris yang tak tahu kemana ibunya pergi mencari keberadaan sang ibu kesana kemari, namun tidak ketemu. Karena merasa kehilangan, maka sesekali terdengar keris itu menangis karena sedih ditinggal ibunya.

***

Di suatu tempat, tak jauh dari keberadaan si keris ajaib, tinggallah seseorang yang bernama Nek Sayu. Nek Sayu adalah temenggung didaerah Galomakng di Gunung Sadaniang yang juga berladang ditepi hutan. Suatu hari Nek Sayu dan istrinya berada didalam pondok ladang. Hujan pun turun dengan sangat lebat.

Sayup-sayup mereka kemudian mendengar ada suara tangis anak kecil yang datangnya dari sebuah pohon. Mereka sejenak heran. Anak siapa yang menangis. Mengapa anak itu menangis. Dimana anak itu? Begitu ragam kecamuk yang ada dipikiran Nek Sayu.

Dan dengan perasaan ingin tahun, Nek Sayu kemudian pergi kearah suara tangis yang ada diatas pohon dan memanjatnya. Ketika Nek Sayu naik, benda yang disangkanya anak kecil itu tiba-tiba meloncat terjun kebawah. Namun, ketika Nek Sayu turun, benda menangis itu kembali naik keatas pohon. Begitu seterusnya. Akhirnya Nek Sayu kesal dan menunggu dibawah pohon.

“Wahai bayi aneh! Jika kamu ingin kami pelihara, turunlah dan nampakkan wujudmu. Kami, suami istri akan memelihara kamu sebagaimana anak kami sendiri.” Seru Nek Sayu.

“Jika engkau ingin memeliharaku, ambillah selendang raja untuk menggendongku.” Benda aneh itu berkata pada Nek Sayu.

“Baik. Syaratnya akan kupenuhi secepat mungkin. Aku akan pinjam selendang raja untuk memenuhi permintaanmu.” Janji Nek Sayu.

Keesokan harinya Nek Sayu pun mendatangi Raja Kudong didaerah Sangking Sadaniang, untuk meminjam selendang.

“Ampun Tuanku. Adapun maksud kedatangan hamba kemari bermaksud untuk meminjam selendang Tuanku. Cuma tujuh hari saja.” Mohonnya pada Raja Kudong.

“Untuk apa Nek Sayu? Sebab selendang raja tidak boleh dipinjamkan kepada orang lain jika tidak ada alasan yang tepat?” Tanya Raja Kudong.

“Ampun beribu ampun Paduka Raja. Hanya selendang Yang Mulia yang dapat mengambil bayi aneh didalm hutan itu, karena dia hanya mau disambut dan digendong dengan selendang raja.” Jelas Nek Sayu.

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Raja menjawab. “Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Setelah itu segera dikembalikan.” Jawab Raja sambil memberikan selendangnya.

Setelah mendapat selendang raja, Nek Sayu pun membawanya ketempat dimana benda menangis itu bernaung. Awalnya dia mengajak istrinya turut serta, namun karena banyak pekerjaan di rumah yang harus dikerjakan seperti menimba iar di sumur, membelah kayu dan memasak, maka Nek Sayu pun berangkat sendiri kesana.

Dibawah pohon, Nek Sayu kemudian menadahkan selendang Raja dan berkata.

“Hai, benda menangis. Ini selendang yang kau pinta. Turunlah, segera!”

Maka serta merta benda itu pun terjun diatas selendang raja yang ditadahkan Nek Sayu. Alangkah terkejutnya Nek Sayu. Ternyata yang jatuh itu adalah sebilah keris. Nek Sayu kemudian membawa keris menangis itu pulang kerumahnya.

“Suamiku, apa yang engkau gendong di dalam selendang raja itu?” Tanya istri Nek Sayu. Dia sudah lama menanti kedatangan Nek Sayu sembari berdiri di muka pintu rumah.

“Ini adalah sebilah keris ajaib, istriku.” Jawab Nek Sayu.

“Keris ajaib? Untuk apa suamiku?”

“Kita lihat dan pelihara saja dulu. Semoga ada manfaatnya bagi kita.” Jelas Nek Sayu.

Di dalam rumah, Nek Sayu kemudian meletakkan keris itu dilantai. Tapi keris itu tiba-tiba menangis. Maunya minta di gendong terus. Melihat itu istri Nek Sayu menjadi kesal.

“Suamiku, keris ini cerewet sekali. Maunya hanya digendong selendang raja dan tidak mau dengan kain lain atau diletakkan diatas lantai. Kalau seperti ini kita akan kesusahan dibuatnya. Kita tidak bisa kemana-mana.” Keluh sang istri, panjang lebar.

“Sudahlah istriku. Ini sudah takdir dari Yang Maha Kuasa. Kita terima saja.” Pujuk Nek Sayu bijak.

Akhirnya, karena keris itu terus menangis jika tak digendong dengan selendang Raja Kudong, maka selendang itu pun dipinjam Nek Sayu selama tiga bulan.

***

Raja Kodung adalah seorang panembahan kerajaan Bangkule Rajakng, Putra Patih Gumantar yang bergelar Panembahan Gunung Kandang atau Panembahan Pati Nyabakng. Dia memiliki seorang adik laki-laki bernama Patih Janakng atau Lidah Berbulu dan seorang adik perempuan bernama Dara Itam yang di hari kemudian menikah dengan Ria Sinir yang sebelumnya juga telah menikah denga Raja Pulang Palih.

Istri Raja Kudong bernama Berkelim yang cantik jelita yang berasal dari suku Dayak Kanayatn. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang bernama Dara Rode yang berwajah cantik, perpaduan dari ayahnya yang gagah tampan dan ibunya yang jelita.

Dara Rode dipingit diatas mahligai tingkat tujuh, diasuh oleh tujuh dayang dan dijaga ketat oleh tujuh panglima yang sakti mandraguna, sehingga tak ada seorang laki-laki pun yang dapat melihatnya, apalagi bertemu dengan anak Panembahan Kudong yang kaya raya itu.

***

Di istana Raja Kudong resah. Teringat dengan Temenggung Sayu yang telah lama meminjam selendangnya dan sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.

“Kemana si Nek Sayu. Sudah tiga bulan dan dia belum mengembalikan selendangku. Pajak pun sudah tiga bulan tak dibayarnya.” Pikir Panembahan Kudong resah dan kesal.

Maka dari itu raja kemudian memerintahkan beberapa panglimanya untuk mendatangi rumah Nek Sayu. Para utusan pun segera mendatangi tempat kediaman Nek Sayu.

“Hai Temenggung Sayu! Raja marah kepadamu karena sudah tiga bulan kamu meminjam selendang raja tapi kau belum mengembalikan selendang beliau, kenapa?”

“Ampunkan saya, Datok Panglima. Tolong sampaikan pada Baginda Panembahan. Bahwa hamba mohon ampun. Lihatlah, benda ini. Dia akan menangis terus apabila tak kugendong dengan selendang Raja. Aku dan istiku pun tak dapat berkerja karenanya. Tolong sampaikan permintaan maafku pada Baginda Panembahan.” Jelas Nek Sayu cemas.

Melihat kenyataan itu, para utusan pun percaya dan pulang menyampaikan apa yang terjadi pada Raja Kudong. Mendengar itu Panembahan Kudong memutuskan untuk berangkat sendiri ke tempat Nek Sayu.

“Kalau begitu, aku sendiri yang akan kerumah Tumenggung Sayu. Dan engkau Datok Panglima dan pengawal lain, ikut bersamaku.” Perintah Panembahan Kudong.

Mereka pun lantas mendatangi Nek Sayu. Melihat kedatangan Penembahan Kudong kerumahnya membuat Tumenggung Sayu ketakukan. Wajahnya pucat pasi. Dikiranya, pastilah Raja akan menghukumnya.

“Apa kabar Temenggung Sayu.” Sapa Raja.

“Hamba dan istri hamba baik-baik saja.” Jawab Nek Sayu, tetap menggendong si keris.

“ Wahai Nek Sayu. Mana benda yang kau maksudkan itu? Aku mau melihat!” Pinta Raja.

Nek Sayu pun meletakkan keris itu dilantai, dihadapan Sang Raja. Saat diletakkan, seketika itu terdengarlah suara tangisan yang berasal dari keris itu, tersedu-sedu.

“Oweee... Oweee... Oweee...” Begitulah bunyi suara yang keluar dari keris ajaib itu.

Melihat kejadian aneh itu Raja Kudong merasa tertarik dan berniat memilikinya.

“Serahkan keris itu padaku, Nek Sayu!” Dan kamu beserta anak buahmu diwilayah ini aku bebaskan untuk tidak membayar pajak.” Titah Raja.

Mendengar itu Nek Sayu langsung setuju dan segera menyerahkan keris menangis itu pada Raja. “Terimakasih Baginda Panembahan. Semoga Baginda murah rezeki, senantiasa diberi kesehatan dan umur yang panjang.” Syukur Nek Sayu sembari mendoakan Sang Raja.

Setelah itu seluruh wilayah kekuasaan Nek Sayu terbebas dari pajak dan hidup dengan tentram.

***

Di istana Raja Kudong senang mendapatkan keris dari Nek Sayu. Keris itu kemudian diasuh oleh putrinya, Dara Rode yang sehari-harinya tinggal didalam sebuah mahligai yang dijaga ketat oleh tujuh orang panglima.

“Ini sebilah keris ajaib. Ayahanda mohon Ananda mengasuhnya dengan baik, karena keris ajaib ini sangat lincah dan pandai menangis.” Titah Sang Raja pada putrinya.

“Terimakasih Ayahanda.” Ucap Dara Rode senang.

Panembahan Kudong yakin, keris ajaib itu dapat dipelihara Dara Rode dengan baik. Karena putrinya itu ditemani dengan tujuh orang dayang dan tujuh panglima yang sakti mandraguna.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Beberapa bulan kemudian terdengar desas-desus dikalangan istana, bahwa Dara Rode jika malam selalu bersama seorang pemuda tampan dan gagah. Beritanya langsung menyebar ke masyarakat luas di bangkule Rajakng.

Mendengar berita yang mencoreng mukanya itu Raja menjadi gusar. Raja Kudong kemudian memanggil semua para petinggi, Datok Panglima dan kerabat istana, bertanya apa betul Dara Rode setiap malam selalu ditemani seorang pemuda. 

“Apa benar putriku Dara Rode jika malam ditemani sama seorang pemuda? Kalau benar, siapa pemuda itu?” Tanya Raja pada seluruh abdinya dan didepan Dara Rode.

Dan tanpa disangka-sangka, Dara Rode berkata lantang dan mengaku kalau berita itu memang benar adanya pada Raja Kudong.

“Mohon ampun Ayahanda Panembahan. Memang benar Ananda bersama seorang pemuda. Dan pemuda itu adalah si Keris Sakti, Ayahanda.” Jelas Dara Rode pada ayahnya.

Mendengar itu bukan main terkejutnya Raja Kudong. “Bagaimana bisa anakku? Itu mustahil.” Bantah Raja Kudong.

“Kalau malam keris itu berubah menjadi seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah. Jika siang kembali menjelma menjadi keris, Ayahanda.” Jelas Dara Rode lagi.

Mendengar itu Raja pun bernazar didepan seluruh rakyat dan petinggi kerajaan

“Wahai anakku! Kalau memang benar kau selama ini hidup bersama dengan seorang pemuda yang menjelma dari sebilah keris, maka engkau akan kunikahkan dengan keris ajaib tersebut. Dan jika anak yang akan kau lahirkan kelak adalah anak yang luar biasa, bukan seperti manusia biasa, maka aku akan mengangkatnya menjadi seorang raja yang akan menggantikanku pada hari itu juga. Akan tetapi, kalau dia lahir seperti anak manusia biasa itu artinya engkau telah berbohong. Berarti ada orang lain dari kalangan manusia yang menemanimu. Maka sebagai hukumannya kau akan aku pancung didepan umum dan mayatmu akan kucincang dan kuhamburkan ke bumi dan laut.” Demikian pengumuman Raja pada putrinya dan semua kaum kerabat istana yang hadir.

Setelah itu, diadakanlah upacara pernikahan antara Dara Rode dan Keris Ajaib yang dilaksanakan pada hari itu juga.

***

Hari demi hari berlalu, tepat sembilan bulan sepuluh hari Dara Rode pun melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika mau melahirkan, Dara Rode sempat diliputi rasa cemas. Dia takut kalau anak yang dilahirkannya itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan sang Raja. Tapi untunglah anak itu memiliki keistimewaan. Di daerah sekitar perutnya ternyata tidak mempunyai pusat. Dan yakinlah Raja Kudong kalau cucunya memang terlahir dari titisan para dewa.

Raja Kudong lantas memberi cucunya nama Singkuwuk yang bergelar Panembahan Tidak Berpusat atau Panembahan Singaok. Raja Kudong pun menepati janjinya. Anak itu langsung diangkatnya menjadi Raja Singaok dan diberi gelar Panembahan Tidak Berpusat atau Panembahan Inak Bapusat.

Sengkuwuk tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan dan sakti mandraguna, dihormati dan disayangi keluarga, kerabat istana dan rakyat Bangkule Rajakng. Setelah Raja Kudong wafat, Bangkule Rajakng yang dipimpinnya mengalami masa gemilang karena rakyat hidup aman damai sentosa. Penembahan Tak berpusat kemudian menikah dengan putri cermin, anak Raja Qahar dari Sumatera Barat yang bergelar Ratu Panembahan Putri Cermin.



Sumber:

Rap, Lonyenk. (Ed.). 2013. Buaya Kuning. Jakarta Timur: Prameswari.

Baca juga:

Dara Itam - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah


Dara Itam adalah anak tunggal dari Patih Gumantar. Patih Gumantar adalah orang yang sangat berpengaruh pada zamannya. Dia dianggap sebagai raja kecil. Ia hidup mewah dan jaya. Karena itu, saking makmurnya, banyak kerajaan kecil tetangga yang ingin merebut daerah kekuasaannya. Masa itu masih berlaku perang Kayau Mengayau. Yaitu perang dengan menebas batang leher lawan hingga kepala terpisah dari tubuhnya.

Sekitar tahun 1400 Masehi kerajaan Miaju nekat menyerang kerajaan kecil Patih Gumantar. Kerajaan itu datang dengan membawa pasukan yang lebih besar. Dalam pertempuran itu, Raja Miaju menang dan berhasil mengayau kepala Patih Gumantar dan kemudian membawa pulang tengkorak kepala itu ke kerajaannya.

Konon, tengkorak dari hasil perang Kayau sangat berkhasiat dan penting untuk kehidupan bertani dan juga aspek kehidupan lainnya bagi orang Dayak. Tengkorak itu kemudian dijaga dengan ketat. Karena kalau sampai hilang, maka hilanglah segala khasiat dan kemujuran hidup seluruh sukunya. Akan halnya tengkorak Patih Gumantar, tengkoraknya disimpan didalam Tajo Tarus Raja Miaju, semacam tempayan pusaka dengan penjagaan yang sangat ketat.

***

Setelah tumbuh menjadi gadis remaja, Dara Hitam kemudian menjadi dukun Baliatn, seorang dukun yang sangat disenangi rakyatnya. Dalam metode perdukunannya, Dara hitam selalu menggunakan ramuan dari kayu-kayuan dan akar kayu dari hutan untuk diolah menjadi obat. Hingga kini ramuan obatnya masih digunakan suku Dayak di kampungnya. Sebagai dukun, Dara Hitam sering diundang dari kampung kekampung untuk mengobati orang yang sakit.

Suatu hari Dara Itam diundang dikampung tetangganya di dekat sungai Tenganap di daerah Tembawang Selimpat. Disana Dara Itam berdukun selama berminggu-minggu lamanya. Biasanya, setelah selesai berdukun, Dara Itam kerap mandi di Sungai Tenganap yang airnya mengalir melewati daerah kediaman Raja Pulang Palih, seorang raja yang mempunyai garis keturunan dari Raja Jawa Banten.

Ketika sedang mandi, sehelai rambut Dara Itam ketika sedang mandi, sehelai rambut Dara Itam gugur. Rambut itu jatuh didalam sebuah bikir kuningan yang dibawanya. Bokor adalah sebuah wadah berbentuk pot yang terbuat dari tembaga. Saking ringannya, bokor itu kemudian hanyut terbawa air. Ketika hanyut, bokor itu melewati salah seorang pengawal Raja Pulang Palih yang sedang mandi. Pengawal itu lantas tertarik melihat bokor itu dan mengambilnya.

Ketika diambil, dia melihat ada sehelai rambut di dalamnya. Dia lantas coba menarik rambut tersebut. Namun saking panjangnya, rambut itu seperti tak berujung. Hal itu kemudian dikabarkannya kepada sang Raja. Setelah mengetahui hal tersebut, Raja juga tampak keheranan dan ingin mengetahui siapa pemilik rambut panjang itu. Pastilah dia seorang gadis yang cantik pikirnya.

Raja kemudian memutuskan dan memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mnyertai mencari keberadaan si pemilik rambut. Dari arah arus sungai yang mengalir mereka berkesimpulan,kalau si pemilik rambut berada di hulu sungai. Dengan memakai perahu, pergilah rombongan itu menyusuri sungai menuju ke hulu.

Setelah sekian lama menyusuri sungai, tibalah mereka ke sebuah rumah yang berhias rapi, pertanda di rumah itu sedang ada acara perdukunan menurut adat Dayak. Pengawal kemudian bertanya pada seorang warga disana, siapa kira-kira yang memiliki rambut panjang disini. Menurut anak yang sedang menimba air, memang ada seorang gadis yang memiliki rambut panjang. Tapi gadis itu sedang mengobati penyakit seseorang di kampung ini.

Setelah mendengar informasi itu, Raja kemudian menjalankan rencananya. Dia kemudian pura-pura sakit dan terbaring didalam perahu. Pengawalnya pun diperintahkan untuk mengundang Darah Itam datang ke perahu. Tanpa berpikir panjang, Dara Itam lantas menyetujui permintaan Raja dan mengikuti langkah pengawal menuju perahu dengan membawa segala ramuannya.

Ketika Dara Itam naik diatas perahu, pengawal pun langsung melepaskan ikatan tali perahu dan berkayuh sekuat tenaga, meninggalkan hulu sungai. Sadarlah Dara Itam kalau dia telah ditipu, masuk kedalam perangkap Raja Pulang Palih yang membawanya meninggalkan Tembawang Selimpat menuju daerah Tembawang Ambator.

Karena laju perahu diatas rata-rata, maka sebentar saja sampailah perahu yang membawa Dara Itam ke pangkalan sungai Sepatah, daerah Tembawang Ambator Anggarat. Disana Dara Itam disambut oleh semua istri Raja Pulang Palih. Raja kemudian mulai melancarkan rayuannya pada Dara Itam dengan maksud untuk menarik simpatinya agar mau dipersunting menjadi istrinya.

Dara Itam ingin menolak, tapi tidak berani dengan cara terang-terangan. Karena didalam hatinya cuma ada satu nama, Ria Sinir yang telah berhasil mencuri hatinya. Tapi dia tak mau gegabah dengan menolak pinangan Raja dengan kasar. Dara Itam kemudian memberikan sebuah persyaratan,

"Kalau Raja sanggup mengembalikan tengkorak ayahku, Patih Gumantar, Raja boleh mengawiniku." Pinta Dara Itam pada Raja Pulang Palih sebagai syarat.

Awalnya Raja menolak permintaan tersebut dan selalu merayu Dara Itam untuk menikah dengannya. Tapai Dara Itam teguh dengan permintaannya. Akhirnya, karena permintaan Dara Itam yang tak terbantah, Raja pun berusaha melaksanakan syarat itu.

Raja Pulang Palih kemudian mengumpulkan seluruh rakyatnya dan petinggi istana untuk minta pendapat. Mereka tahu, untuk mendapatkan tengkorak kepala Patih Gumantar berarti menabuh genderang perang. Tapi itu jalan satu-satunya agar Raja bisa mempersunting Dara Itam.

Tengkorak kepala itu tentu dijaga dengan ketat. Dan untuk mendapatkannya mereka harus mengadakan perlawanan sengit pada Raja Miaju. Setelah sepakat, mereka kemudian memutuskan untuk membuat perlengkapan perang.

Raja kemudian memerintahkan rakyatnya untuk mencari kayu yang paling baik untuk membuat Jong atau sampan besar. Dan untuk itu rakyat akan mencari kayu jenis Merbau. Tak lama kemudian kayu itu pun ditemukan di sungai Sepatat, yang tanggul kayunya masih ada hingga sekarang.

Dengan alat-alat tradisional yang terbuat dari batu, mereka menebang pohon Merbau dengan menggunakan kampak batu. Tapi walaupun sudah berusaha dengan keras, namun mereka tak berhasil menebangnya.

Akhirnya mereka menggunakan cara lain. Yaitu mengikatkan mata kampak batu itu dengan tali rotan ke sebilah kayu yang menjadi gagangnya. Setelah itu kayu pun kembali ditebang. Tapi baru setengah batangnya terpotong, malam pun tiba. Dan mereka memutuskan untuk menebang pohon Merbau pada keesokan hari saja.

Tapi keesokan harinya mereka terkejut. Batang pohon yang telah setengah putus itu kembali bertaut dan menjadi utuh seperti sedia kala. Tak mau terlalu larut dalam keterpanaan, mereka kembali menebang, menuntaskan pekerjaan yang sempat tertunda.

Namun hingga sore, penebangan pohon Merbau masih belum selesai juga. Hingga malam datang dan mereka terpaksa menundanya kembali. Tapi ketika datang keesokan harinya, pohon Merbau itu kembali utuh. Dan mereka benar-benar kecewa melihat kejadian itu. Benar-benar aneh, pikir mereka.

***

Dara Itam kemudian mengusulkan pada Raja Pulang Palih agar memanggil Ria Sinir untuk menebang pohon Merbau tersebut. Tak banyak tanya, raja langsung menyetujui usulan itu dan segera memanggil Ria Sinir datang ke kerajaannya. Ria Sinir yang dasarnya mempunyai sifat penolong langsung memenuhi undangan sang Raja dan segera menghadap Raja.

"Setelah beberapa rakyatku tak ada yang sanggup, maka akau meminta engkau untuk menebang pohon Merbau yang nantinya akan aku jadikan Jong." Pinta Raja sembari menjelaskan maksudnya pada Ria Sinir.

"Saya akan coba. Tapi saya tidak berani berjanji. Sebab, orang-orang Raja saja gagal melaksanaknnya, apalagi saya." Jawab Ria Sinir dengan sikap merendah.

"Engkau coba saja dulu." Pinta Sang Raja penuh harap.

Akhirny Ria Sinir masuk kedalam hutan dan segera menemukan lokasi dimana letak kayu Merbau yang dimaksud. Dan Ria Sinir pun memulai pekerjaannya. Hebatnya, sekali dua tebas saja dengan kampaknya, pohon yang kokoh itu kemudian langsung tumbang.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Ria Sinir bergegas menghadap Raja dan melaporkan hasil pekerjaannya. Melihat itu Raja dan rakyat yang mengetahuinya pun tercengang. Tak menyangka hal yang sulit itu dapat dikerjakan dengan sangat mudah oleh Ria Sinir. Setelah selesai dengan tugasnya, Ria Sinir kemudian pamit pulang ke kampung halamannya.

***

Setelah batang kayu Merbau didapat, segerahlah kayu itu diolah menjadi sebuah Jong. Tak lama Jong pun jadi dan siap difungsikan. Beramai-ramai mereka kemudian berusaha mendorong Jong itu agar dapat masuk kedalam sungai. Namun, walau seluruh rakyat ikut mendorong, namun Jong itu tak bergeming seperti terpatri kuat dengan tanah. Sekali lagi raja menjadi bingung melihat keanehan itu.

Akhirnya, kembali atas usul Dara Itam, Ria Sinir kembali diundang. Ria Sinir kemudian datang. Tapi syarat yang dipintanya kali ini sangat berat. Membuat Raja terkejut.

"Saya bisa menolong, Tuanku. Tapi semua itu ada syaratnya." Jawab Ria Sinir.

"Apa syaratnya, Ria Sinir?"

"Raja harus menyediakan tujuh perempuan yang sedang mengandung anak pertama dalam kondisi hamil tua atau hampir melahirkan. Karena ketujuh orang inilah yang nantinya menjadi bantalan alas Jong yang akan diluncurkan." Jelas Ria Sinir panjang lebar.

"Itu mustahil." Sela Raja dengan gugup. Mendengar persyaratan yang dipinta Ria Sinir membuatnya menjadi takut.

"Selain itu, saya juga perlu tujuh butir telur dari ayam yang baru pertama kali bertelur. Serta tiga gantang uang logam yang terbuat dari perak, tembaga dan timah."

"Apakah tidak bisa diganti?" Tawar Raja.

Ria Sinir menggeleng. "Persyaratan itu tak boleh ditawar, Tuanku. Kalau tidak, rencana Tuanku tak akan bisa berhasil." Jelas Ria Sinir lagi.

Akhirnya, walau terasa tak masuk diakal, Raja pun menyanggupi segala persyaratan yang dipinta Ria Sinir. Tak disangka, Raja kemudian berhasil mendapatkannya. Ketika semuanya sudah lengkap, ketujuh perempuan yang sedang mengandung itu pun disuruh Ria Sinir untuk rebah, berjejer di depan Jong yang akan dibawa ke sungai. Karena dari atas perut ketujuh wanita hamil itulah Jong akan meluncur ke sungai.

Seluruh rakyat yang menyaksikan peristiwa tersebut memandang dengan perasaan ngeri dan juga sedih. Ria Sinir kemudian berjalan ke buritan Jong. Dan dengan kesaktiannya, dia kemudian menepuk buritan sekali dan jong langsung meluncur mulus melewati satu persatu perut wanita hamil itu hingga berhasil mengapung diatas air.

Setelah itu, ketujuh wanita hamil itu disuruh berdiri oleh Ria Sinir. Ajaib! Semuanya sehat dan tidak ada cidera sedikitpun di badan mereka. Malahan mereka merasa semakin sehat dari keadaannya semula. Ketujuh telur yang dipinta kemudian disuruh dieramkan. Dan kemudian hari, setelah telur menetas, keluarlah ayam-ayam jago yang pandai berkokok.

Setelah itu jong diisi dengan seluruh perlengkapan perang. Raja lantas menunjuk Ria Sinir untuk memimpin perang. Dan sebelum berangkat, Raja Pulang Palih telah berjanji akan menyerahkan salah satu dari ketujuh istrinya pada Ria Sinir bila dia berhasil membawa tengkorak Patih Gumantar dihadapannya.

***

Setelah Jong penuh dengan perlengkapan perang, pasukan yang dipimpin oleh Ria Sinir pun berangkat menuju kerajaan Miaju. Jong kemudian dikayuh secepat burung Bengkala, burung sakti yang mempunyai kecepatan terbang yang kencang. Kira-kira pukul satu malam, mereka kemudian sampai. Sebelum mengadakan penyerangan, mereka terlebih dahulu mengintai keadaan. Terlihat oleh mereka pondok penyimpanan Tajau Tarus yang berisi tengkorak Patih Gumantar. Tempat itu dijaga dengan ketat dan rapi. Ria Sinir yang berani dan cerdas itu kemudian melaksanakan rencananya.

Dengan hati-hati, malam itu juga dia mengangkut semua uang yang telah dibawanya. Uang-uang itu kemudian dihambur-hamburkannya ditempat dimana orang-orang biasa menimba air. Sebagian uang itu juga diikat menyerupai pundi-pundi dan disangkutkan diatas pohon Tangkul yang beracun seperti tuba. Setelah itu, Jong kembali dikayuh menjauhi hilir.

Pagi hari ketika orang sedang menimba air, terlihat oleh mereka uang yang bertaburan, bagai hujan yang tercurah dari langit. Mereka langsung memungutinya. Orang-orang itu kemudian pulang kerumah panjang dan memberitahukan kabar tersebut pada yang lainnya.

Mendengar itu, yang lainnya kemudian berduyun-duyun mendatangi tempat tersebut dan ikut memungut uang-uang yang bertebaran disana. Belum puas memungut uang yang bertebaran, mereka kemudian mengambil uang yang ada dibatang pohon tangkul yang juga penuh dengan pundi-pundi uang.

Pohon itu kemudian mereka tebang. Ketika ditebang, secara tak langsung racun kayu itu jatuh kedalam air dan meracuni ikan yang ada disana. Tak ayal lagi, ikan-ikan pun kemudian mati dan bermunculan dipermukaan air.

Melihat itu, seluruh penduduk kampung langsung keluar untuk mengumpulkan ikan-ikan yang banyak terdampar diatas air. Mereka lupa akan tajo tarus yang berisi tengkorak Patih Gumantar yang seharusnya mereka jaga dengan ketat. Tempat itu sepi dan luput dari penjagaan.

Melihat keadaan itu, dengan tenang Ria Sinir menjalankan aksinya. Ria Sinir kemudian mengangkat tempayan berisi tengkorak Patih Gumantar dan dibawanya kedalam Jong.

"Ayo! Lekas kayuh Jong kita. Jangan sampai musuh mengetahui dan mengejar." Perintah Ria Sinir pada pasukannya.

Dengan mengerahkan tenaga sekuatnya, mereka tak henti-hentinya berkayuh. Akhirnya, setelah sekian lama berkayuh, mereka tiba juga dengan selamat ke istana Raja Pulang Palih. Ria Sinir kemudian membawa tempayan itu dihadapan Raja. Setelah itu Raja lantas teringat akan janjinya, bahwa dia akan menyerahkan salah satu istrinya untuk Ria Sinir.

Maka dari itu, seluruh istrinya pun disuruh berdandan secantik mungkin. Ketika selesai berdandan, mereka lantas disuruh menunggu didalam sebuah ruangan. Ria Sinir kemudian dipersilahkan masuk dan disuruh memilih salah satu diantara mereka. Para istri Raja memang berparas cantik semuanya tapi tak ada yang menawan hati Ria Sinir. Karena didalam hati Ria Sinir cuma ada Dara Itam.

Dan dengan kesaktiannya, Ria Sinir memilih caranya sendiri. Dia kemudian mengambil sehelai daun sirih. Daun sirih itu kemudian dtimang-timangnya. Setelah itu daun sirih itu dilepaskannya. Ajaib! Daun sirih itu berubah menjadi kunang-kunang yang bercahaya dan terbang menurut sesuai perintah Ria Sinir.

"Kepada siapa kunang-kunang ini nantinya hinggap, dialah yang akan menjadi istriku." Ucap Ria Sinir khusyuk.

Raja Pulang Palih terkesima melihat kesaktian Ria Sinir. Terbersit rasa panik dalam hatinya. "Bagaimana kalau kunang-kunang ini pergi ke dapur dan menghinggapi Dara Itam." Pikir Raja resah.

Dara Itam memang sengaja disembunyikan Raja di dapur dan wajahnya dilumuri dengan arang hitam. Konon karena itulah dia semakin dikenal dengan julukan Dara Itam. Ketakutan Sang Raja kemudian menjadi kenyataan. Kunang-kunang lantas menuju ke dapur, tempat dimana Dara Itam disembunyikan.

"Kepada siapa kunang-kunang ini hinggap, dialah nanti yang akan menjadi istriku." Ulang Ria Sinir berkali-kali.

Kunang-kunang itu kemudian menghinggapi Dara Itam. Melihat itu Ria Sinir bergegas masuk ke dapur dan menemukan Dara Itam ada disana. Walaupun wajah Dara Itam menghitam karena arang tapi Ria Sinir tetap mengenalnya.

Ketika bertemu, mereka langsung berpelukan erat. Dengan bergandengan tangan mereka berdua lantas menghadap Raja. Hati Raja Pulang Palih sebenarnya berat melepaskan Dara Itam tapi sebagai  Raja dia tak bisa mengingkari janji yang sudah diucapkan. Hatinya sedih. Dara Itam yang dicintainya akan segera dibawa orang lain.

Tengkorak Patih Gumantar yang ditemukan dan sekiranya membuat dirinya bahagia kini malah membawa kesedihan baginya. Karena hal itu malah menjadi jembatan Ria Sinir dan Dara Itam untuk bersatu kembali. Perempuan yang dicintainya akan menjadi milik orang lain.

Setelah itu, Ria Sinir dan Dara Itam kemudian mohon diri pada Raja. Namun, sebelum mereka pergi, dengan berlinang air mata Raja berpesan pada Ria Sinir.

"Tak akan kuingkari janjiku padamu Ria Sinir. Tapi kumohon, jika anak yang dikandung Dara Itam adalah laki-laki maka dia adalah anakku. Dan jika dia perempuan maka anak itu menjadi milik Dara Itam."

"Baiklah." Ria Sinir mengangguk takzim.

Ketika sampai dikampung halamannya, Ria Sinir dan Dara Itam disambut meriah oleh pamannya Ria Jambi. Kedatangan mereka disambut seperti prajurit yang pulang dari medan peperangan. Ria Jambi kemudian mengumpulkan seluruh kaum kerabat untuk melaksanakan sebuah pesta perkawinan.

Pesta pada zaman itu hanyalah menghidangkan daging binatang peliharaan, binatang buruan, sayuran kulat, karang dan buah-buahan yang ada didalam hutan. Dari hasil perkawinan Dara Itam dan Ria Sinir, lahir seorang anak laki-laki bernama Ria Kanu' yang dikemudian hari menjadi cikal bakal keturunan Dayak Kanayatn di Kecamatan Darit Manyuke Kabupaten Landak.

Sedangkan dari perkawinannya dengan Raja Pulang Palih, Dara Itam melahirkan anak kembar yang diberi nama Dol Kasim dan Dol Kahar. Mereka inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal raja-raja yang ada di Kerajaan Landak.

Panglima Sejati - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah


Telah tersiar kabar di kalangan rakyat Senggaok bahwa raja mereka, Penembahan Senggaok akan melangsungkan perkawinan dengan putri yang cantik jelita dari Kerajaan Pagaruyung yang bernama Putri Cermin. Rakyat pun menyambut berita itu dengan suka cita. Hari perkawinan pun telah ditetapkan. Panembahan Senggaok segera memerintahkan kepada para kerabat istana dan para pengawal untuk mempersiapkan acara perkawinannya dengan semeriah-meriahnya.

Sejak itu, mulailah tampak kesibukkan para pembantu, para pengawal dan kaum kerabat di istana Senggaok. Patung-patung dibersihkan, tirai-tirai pintu dan jendela pun diganti. Dan disetiap sudut ruangan diberi hiasan kembang warna-warni. Kampung-kampung disekitar istana juga dibersihkan dan dihias.

Untuk melengkapi keperluan perkawinan itu, maka Panembahan Senggaok menunjuk seorang panglimanya yang gagah perkasa, yakni Datok Petinggi untuk pergi mencari keperluan perkawinan ke Bandar Hilir Sungai Mempawah.

Maka, dipanggillah Datok Petinggi, sang penggawa istana yang gagah perkasa itu ke istana. Datok Petinggi pun segera masuk ke istana untuk menghadap pada sang raja.

"Hamba datang menghadap Paduka Yang Mulia." Sembah Datok Petinggi.

"Dudukla Datok Petinggi". Balas sang Raja.

"Ada apa gerangan sehingga paduka memanggil hamba untuk menghadap Yang Mulia?" Tanya Datok Petinggi ingin tahu.

"Aku mengundangmu kemari tidak lain untuk memerintahkanmu pergi ke Bandar Hilir Sungai Mempawah. Guna mencari segala keperluan untuk perkawinanku yang tinggal beberapa hari lagi. Aku tahu, jarak yang harus kau tempuh cukup jauh. Tetapi, kamu harus kembali keistana dalam waktu sehari semalam." Perintah Raja kepada Datok Petinggi dengan penuh wibawa.

"Bagaimana Datok Petinggi?" Sanggupkah engkau menerima tugas ini?" Tanya Sang Raja minta keputusan.

"Daulat Tuanku, Hamba adalah abdi Tuanku dan hamba akan menjunjung tinggi titah Tuanku. Dan hamba berjanji dalam waktu sehari hamba sudah kembali lagi ke istana ini. Jika hamba tidak dapat memenuhi janji itu, maka nyawa hambalah taruhannya." Jawab Datok Petinggi sambil tersenyum penuh keyakinan.

"Kalau begitu berangkatlah sekarang juga!" Titah Sang Raja.

"Baik Paduka. Hamba mohon diri." Kata Datok Petinggi berpamitan.

Pada hari itu juga, berangkatlah Datok Petinggi dengan seorang juru mudi yang handal ke Bandar Hilir Sungai Mempawah. Sudah bukan rahasia lagi kalau kehebatan Datok Petinggi sudah termahsyur sampai di pelosok negeri. Ia dikenal mempunyai kekuatan yang luar biasa.

Kedua tangannya berotot, dadanya kekar. Konon kata hikayat, sekali ia mendorong galah beliannya, yang diperkirakan berukuran sebesar batang kelapa itu, maka perahunya akan melaju hingga dua tiga tanjung dapat terlampau dengan kecepatan yang luar biasa. Dengan kekuatan itu pula dalam waktu yang singkat, Datok Petinggi telah sampai ke Bandar Hilir Sungai Mempawah.

Ketika sampai Datok Petinggi berkata kepada juru mudinya. "Kita harus segera mendapatkan segala keperluan Raja untuk perkawinannya. Setelah itu kita segera kembali, karena sebelum malam tiba kita harus sampai ke istana." Datok Petinggi megingatkan juru mudinya.

"Baik Datok Petinggi." Jawab juru mudinya dengan sigap.

Setelah menemukan barang-barang yang diperlukan untuk pernikahan Sang Raja, dengan secepatnya Datok Petinggi kembali ke perahu dan segera memerintahkan juru mudinya untuk segera mudik, guna menepati janjinya tiba diistana dalam waktu sehari saja.

Namun, ketika hampir tiba di Senggaok, tiba-tiba cuaca berubah menjadi gelap gulita seperti malam. Semakin lama semakin gelap. Sampai-sampai sisi kiri dan kanan sungai tidak kelihatan lagi. Datok Petinggi mulai cemas dan khawatir.

"Mengapa cuaca yang tadinya terang benderang tiba-tiba berubah menjadi gulita. Apakah ini merupakan petanda buruk?" Tanya Datok Petinggi kepada juru mudinya.

"Juru mudi! Jangan sampai kita terkandas ditepi sungai. Arahkan terus perahu ketengah!" Perintah Datok Petinggi dengan suara menggelegar.

"Bagaimana mungkin Datok Petinggi? Hamba sudah tidak dapat melihat batas sungai." Kata juru mudi sambil berusaha mengarahkan perahunya agar tidak menabrak ditepian sisi sungai.

"Kamu bersiap-siaplah! Karena aku akan menambah laju perahu ini dengan kekuatan yang luar biasa." Tukas Datok Petinggi.

Dengan sigap Datok Petinggi pun menancapkan galahnya kedasar sungai. Namun malang. Ketika akan mendorong perahunya, tiba-tiba terdengar bunyi 'krek'.

"Ah! Galahku patah menjadi dua."Teriak Datok Petinggi dengan mata terbelalak. Seakan dia tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

Akibat kejadian yang tak terduga itu, perahu Datok Petinggi pun hanyut ke hilir Sungai Mempawah. Perjalanan pulang mereka menjadi tertunda beberapa hari untuk tiba ke Senggaok. Melihat kenyataan itu, Datok Petinggi tidak bisa menyembunyikan rasa kesal dan kekecewaannya.

***

Sementara itu, di istana Senggaok, Raja sudah gelisah  menunggu kepulangan Datok Petinggi.

"Mengapa Datok Petinggi belum juga kembali sesuai dengan waktu yang aku titahkan padanya? Padahal dengan kekuatan dan galah yang dimilikinya, seharusnya dia sudah sampai pada saat ini. Apakah telah terjadi sesuatu dengannya?" Beragam pikiran dan kecemasan berkecamuk dibenak Raja.

Tiba-tiba pengawal istana datang menghadap. Ampun Paduka Yang Mulia. Hamba dapat berita, bahwa Datok Petinggi sudah sampai di pangkalan istana." Katanya dengan terengah-engah.

"Suruh dia menghadapku, segera." Titah Paduka Yang Mulia.

Tak lama kemudian Datok Petinggi pun datang menghadap.

"Sembah hamba Yang Mulia! Mohon ampun karena hamba tidak dapat memenuhi janji hamba." Kata Datok Petinggi penuh dengan rasa kekecewaan dan juga malu.

"Ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi! Sehingga perjalananmu memakan waktu melebihi yang telah aku titahkan kepadamu yaitu sehari semalam." Pinta Raja ingin tahu.

Datok Petinggi pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya selama menempuh perjalanan pulang menuju ke Senggaok. Raja tampak memaklumi kejadian itu.

"Aku rasa semuanya sudah kehendak Yang Maha Kuasa." Tutur Raja bijak.

"Paduka Yang Mulia, sebelum berangkat ke Bandar, hamba sudah berjanji kepada Paduka untuk dapat kembali dalam waktu sehari. Dan jika janji itu tidak dipenuhi, maka nyawa hambalah sebagai taruhannya." Ujarnya.

"Sudahlah Datok Petinggi. Aku sudah mengampunimu." Kata Raja dengan bijaksana dan penuh wibawa.

"Menurut hamba, tidak layak seorang Datok Petinggi untuk ingkar terhadap sumpah dan janji yang telah diucapkannya. Bagi hamba, janji haruslah ditepati." Datok Petinggi berkata mantap.

"Apa maksudmu wahai Datok Petinggi?" Tanya Sang Raja bingung. Beliau tak mengerti arah pembicaraan Datok Petinggi.

Rupanya Datok Petinggi punya cara lain untuk melunasi janjinya pada Sang Raja. Dan tanpa diduga, dengan secepat kilat, sekonyong-konyong Datok Petinggi sudah tergeletak berlumuran darah. Ternyata, dia sudah memenuhi sumpah dan janjinya, dengan memotong alat kelaminnya sendiri. Raja sangat terkejut melihat aksi nekat Datok Petinggi tersebut.

Dan tak lama berselang, Datok petinggi pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia telah meninggal dan kemudian dikenang sebagai ksatria yang tangguh memegang janji. Dengan wafatnya Datok Petinggi sebagai ksatri yang tangguh memegang janji, maka Paduka Yang Mulia Panembahan Senggaok memberinya gelar sebagai Panglima Sejati.

Sampai sekarang, di Hulu Sungai Mempawah, masih terdapat galah belian datok Petinggi yang sudah patah. Galah belian itu merupakan saksi bisu dan bukti sebagai catatan sejarah. Dan daerah tersebut kemudian dianamakan Secancang.


Sumber:
Rap, Lonyenk. (Ed.). 2013. Buaya Kuning. Jakarta Timur: Prameswari.

Baca Juga:
Buaya Kuning - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Galaherang - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Dara Itam - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Keris Ajaib - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah

Galaherang - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah



Di dalam negeri Matan, tersiar sebuah kabar tentang kemahsyuran seorang ulama besar yang bernama Al Habib Hashim Yahya. Dari hari-kehari kemahsuran Al Habib Hashim Yahya semakin berkembang, laksana bunga yang sedang mekar dan harumnya menyebar keseluruh negeri.

Sementara itu, di kerajaan Matan Sukadana telah datang dua orang alim, yaitu Habib Husin Al-Qadri dan Sayyid Salim Hambal yang kemudian bersahabat dengan Al-Habib Hashim Yahya dan mereka sepakat untuk menyebarkan agama Islam di Kalimantan Barat.

Ketika menghadiri undangan dari Sultan Muhammad Zainuddin, yaitu Panembahan Matan Tanjungpura untuk jamuan makan di dalam istana. Selain Al Habib Hashim Yahya diundang pula Habib Husin Al-Qadri dan Sayyid Hambal.

Sudah merupakan adat istiadat bahwa setiap ada penjamuan selalu terdapat acara adat makan sirih. Pada waktu sirih itu disuguhkan atau diletakkan dihadapan Al Habib Hashim Yahya, tampak air muka beliau berubah. Alat pembelah pinang atau yang lebih dikenal dengan nama kacep, yang ujungnya berbentuk kepala burung, diambilnya. Lantas ia pun berkata tegas sambil memegang alat pembelah pinang itu.

"Sesungguhnya, semua yang menyerupai ciptaan Tuhan adalah perbuatan syirik hukumnya dan itu harus dimusnahkan."

Setelah mengatakan kalimat itu, alat pembelah pinang itu pun dipatahkan didepan Sultan dan semua undangan yang hadir. Melihat hal itu, semua undangan membisu, terdiam seribu bahasa, termasuk Sultan Zainuddin sendiri. Hal ini dikarenakan Al Habib Hashim Yahya merupakan guru dari Sultan itu sendiri, sehingga beliau tidak berani memperotes karena takut durhaka.

Melihat gelagat yang tidak baik tersebut, akhirnya Habib Husin Al-Qadri membacakan firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur'an surah An-Nahl ayat 125. Kemudian alat pembelah pinang yang sudah dipatahkan Al Habib Hashim Yahya itupun diambilnya kembali. Sementara Sultan dan para undangan menunggu dan terdiam, dalam hati mereka sendiri masing-masing bertanya, apa yang hendak dilakukan oleh Habib Husin Al-Qadri?

Dengan ibu jari, diambilnya air liur dari langit-langit mulutnya. Lalu, dicampurnya air liur itu dengan kapur sirih sambil mengucapkan kata Bismillah. Setelah itu, air liur yang sudah dicampur dengan kapur sirih tersebut lantas diusapkannya ke pembelah pinang yang sudah patah menjadi dua tadi. Seketika itu pula, pembelah pinang tersebut menjadi utuh kembali seperti sediakala, bahkan bentuknya semakin terlihat indah.

Para undangan yang menyaksikan kejadian itu menatap dengan penuh takjub. Mereka juga kagum atas kebijaksanaan Habib Husin Al-Qadri dalam menetralkan suasana yang sempat tegang dalam acara tersebut. Maka dengan rasa hormat, sebagian para undangan yang hadir langsung menyalami dan mencium tangan Habib Husin Al-Qadri.

Setelah suasana agak tenang, Sultan pun berkata, "Tuan Habib Husin, aku sangat terkesan dengan apa yang telah tuan lakukan tadi. Untuk itu, aku menginginkan Tuan Habib Husin Al Qadri yang bijaksana menjadi mufti peradilana agama dan menyebar agama Islam di Kerajaan Matan Tanjungpura ini untuk mendampingi Tuan Al-Habib Hashim Yahya." Pintanya.

Habib Husin Al-Qadri terdiam sejenak. Ia tampaknya sedang meikirkan tawaran tersebut. "Setelah saya berpikir, saya bersedia menerima tawaran dari Sultan. Dan semuanya semata-mata hanya karena Allah." Kata Habib Husin Al-Qadri memberi jawaban. Beliau sanggup mengemban tugas yang diberikan Sultan.

"Alhamdulillah." Ucap Sultan sambil menadahkan tangannya, mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT. Dia senang telah menemukan orang seperti Habib Husin Al-Qadri yang dia yakini adalah orang yang dapat menjaga amanah dan selalu mengedapankan kejujuran yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Hadits.

***

Pada suatu hari, Sultan memanggil Habib Husin Al-Qadri ke istana. Sepertinya ada sesuatu hal yang ingin disampaikan beliau.

"Mufti Al-Habib Husin, kulihat engkau begitu sibuk berdakwah dalam membantuku menegakkan keadilan di negeri ini. Tidak pernahkah engkau berpikir untuk mencari pasangan hidup?" Tanya Sultan dengan hati-hati.

"Bagi saya, soal jodoh saya serahkan semuanya kepada Allah SWT." Jawab Habib Husin Al-Qadri santun.

"Jika engaku berkenan, aku bermaksud menjodohkanmu dengan putriku yang bernama Nyai Tua. Aku rasa engkau pun sudah mengenalnya." Kata Sultan.

"Beri saya waktu, Sultan. Saya akan memikirkannya dulu. Seadainya putri Sultan memang jodoh saya, Insya Allah kami akan menjadi suami istri." Kata Habib Husin Al-Qadri dengan bijak.

Setelah itu Habib Husin Al-Qadri pun mulai berpikir dan mempertimbangkan tawaran dari Sultan tersebut. Setelah berpikir dan mempertimbangkan, dia kemudian mantap mengambil sebuah keputusan. Maka tak lama kemudian Habib Husin Al-Qadri pun menikahi Nyai Tua. Dan dari hasil perkawinan mereka, lahirlah seorang putra bernam Syarif Abdurrahman Al-Qadri, yang kemudian hari dikenal sebagai pendiri Kerajaan Pontianak.

Kabar tentang kemahsyuran Habib Husin Al-Qadri sampai pula ketelinga Opu Daeng Manambon, raja dari Kerajaan Mempawah. Ingin sekali beliau bertemu dengan Habib Husin Al-Qadri. Lalu diutusnyalah putranya untuk menjemput Habib Husin Al-Qadri dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari Sultan Zainuddin. Ketika sampai di istana Matan, Utusan Opu Daeng Manambon langsung menghadap Sultan Zainuddin. Dan Setelah berbasa-basi sejenak, dia pun langsung menyampaikan maksud dari kedatangan tersebut.

"Baginda Sultan, kedatangan saya kesini adalah sebagai utusan dari Raja Opu Daeng Manambon, raja kerajaan Mempawah. Raja Opu Daeng Manambon menitipkan amanah kepada saya untuk disampaikan kepada Baginda Raja."

"Ada apa gerangan wahai Pangeran?" Tanya Sultan dengan ramah.

"Baginda Raja Opu Daeng Manambon sangat ingin bertemu dengan ulama besar negeri ini yakni Tuan Habib Husin Al-Qadri. Dan saya diutus kesini untuk menjemput beliau. Itupun jika Sultan mengijinkan." Ujar Pangeran mengutarakan maksudnya dengan penuh rasa hormat.

"Aku mengerti dengan keinginan Baginda Raja Opu Daeng Manambon untuk bertemu dan membawa Habib Husin Al-Qadri ke kerajaan Mempawah. Akan tetapi, sekarang ini aku masih belum bisa mengijinkan Habib Husin Al-Qadri untuk keluar dari negeri ini." Kata Sultan memberikan penjelasan.

"Kalau itu keputusan Sultan, saya akan sampaikan kepada Raja." Kata Pangeran. Maka, Pangeran pun kembali ke kerajaan Mempawah tanpa membawa Habib Husin Al-Qadri ikut bersamanya.

***

Pada suatu hari, di negeri Matan terjadi sebuah peristiwa yang cukup menggemparkan. Ada seseorang pemuda tampan yang datang dari Pulau Siantan bernama Ahmad yang dikenal juga dengan nama Nahkoda Ahmad. Sayangnya, pemuda tampan itu adalah seorang jagoan yang sombong dan suka mengganggu wanita. Bahkan, di negeri Matan pun dia berulah yang sama. Bahkan, kaum kerabat istana pun berani diganggunya.

Karena ulahnya tersebut, akhirnya Nahkoda Ahmad kemudian ditangkap dan mendapatkan hukuman mati dari Sultan. Tapi oleh peradilan agama, Habib Husin Al-Qadri malah mengubah hukumannya dengan mewajibkan Nahkoda Ahmad membayar denda dan dilarang singgah ke Matan dan diharuskan juga untuk meminta maaf kepada Raja.

Rupanya, diam-diam Sultan sangat kecewa dengan keputusan Habib Husin Al-Qadri karena mengubah hukuman yang telah dijatuhkannya kepada Nahkoda Ahmad. Tetapi Sultan tidak berani mengutarakan kekecewaan hatinya tersebut.

Ketika kapal Nahkoda Ahmad meninggalkan Negeri Matan, kapal itu berserta awaknya lantas diserang oleh laskar Matan. Sehingga Nahkoda Ahmad tewas dalam pertempuran itu. Rupanya, dengan diam-diam Sultan memerintahkan Panglima untuk menyerang kapal Nahkoda Ahmad. Berita itu akhirnya sampai juga kepada Habib Husin Al-Qadri. Betapa terkejut dan tersinggungnya beliau, karena merasa keputusannya tidak diindahkan oleh Sultan. Maka dari itu, dia pun lantas menghadap Sultan di istana dan langsung mengungkapkan rasa kekecewaannya.

"Sultan telah memberikan amanah kepada saya selama tujuh belas tahun untuk menegakkan keadilan di negeri ini.  Dan selama itu pula saya selalu berusaha agar setiap hukuman yang dijatuhkan tidak menyimpang dari aturan dan hukum agama. Tapi, sekarang tampaknya Sultan tidak menghormati keputusan peradilan Negeri Matan lagi." Habib Husin Al-Qadri berkata panjang lebar kepada Sultan dengan nada kecewa yang tidak dapat lagi disembunyikannya.

"Menurutku, pemuda Nahkoda Ahmad itu memang layak mendapatkan hukuman mati." Kata Sultan tegas.

"Tapi di negeri ini kita sudah mempunyai aturan yang jelas untuk menjatuhkan hukuman kepada seseorang. Dan keputusan yang sudah diambil oleh mufti peradilan terhadap Nahkoda Ahmad, saya rasa sudah cukup adil." Tukas Habib Husin Al-Qadri. Kemudian dia kembali melanjutkan. "Tampaknya saya sudah tidak dapat lagi menjadi mufti di negeri ini Sultan." Putusnya.

Sultan tampak terkejut mendengar perkataan terakhir Habib Husin Al-Qadri. "Mengapa Tuan Habib Husin Al-Qadri sampai berkata begitu? Tuan masih sangat diperlukan di negeri Matan ini." Kata Sultan dengan nada meyakinkan.

"Sebenarnya, sebelum menghadap Sultan, saya sudah memikirkan hal ini masak-masak. Dan rasanya keputusan saya sudah bulat." Kata Habib Husin Al-Qadri dengan tegas.

"Kalau sudah begitu keputusanmu, aku pun tidak bisa memaksa Tuan Habib Husin Al-Qadri. Tetapi kalau Tuan berubah Pikiran, kembalilah lagi kesini." Kata Sultan, memberikan penawaran kepada Habib Husin Al-Qadri.

Setelah kejadian itu, Habib Husin Al-Qadri pun menyurati Raja Opu Daeng Manambon, agar menjemputnya untuk hijrah ke Mempawah. Dalam suratnya tersebut, Habib Husin Al-Qadri meminta agar disediakan dua bangunan yang terletak diujung pohon, yang daun dan batangnya berwarna hijau yaitu pohon nipah. Maksudnya tidak lain adalah, sebuah tempat yang banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan yang hijau, akan dapat dimanfaatkan sebagai lahan kehidupan maupun untuk kemuliaan.

Sedangkan fungsi kedua bangunan itu adalah, satu untuk tempat tinggalnya dan satu lagi untuk dijadikan surau. Raja Opu Daeng Manambon sangat senang menerima surat dari Habib Husin Al-Qadri yang selama ini memang dinantikannya. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, Raja Opu Daeng Manambon pun mengadakan musyawarah dengan para petinggi kerajaan.

"Saya sangat gembira karena menerima surat dari Habib Husin Al-Qadri. Beliau akan datang ke kerajaan kita ini. Tetapi beliau minta disiapkan tempat dan minta di jemput ke negeri Matan." Kata Raja membuka peretemuannya dengan wajah gembira. "Untuk itulah saya mengundang saudara-saudara kesini."

Setelah itu Raja Opu Daeng Manambon pun membacakan surat dari Habib Husin Al-Qadri didepan para petinggi kerajaan. Setelah itu dia berkata lagi.

"Saya sangat gembira mendengar berita ini. Bangunan yang diinginkan Tuan Habib Husin Al-Qadri, untuk tempat tinggal dan surau secepatnya harus sudah disiapkan. Sedangkan untuk penjemputan, kita harus menyiapkan dua perahu kakap. Dan utusan ini saya serahkan kepada Pangeran Mangku untuk memimpinnya." Titah Sang Raja.

***

Pada tahun 1758 Masehi, resmilah Habib Husin Al-Qadri datang ke Mempawah, tepatnya di kampung yang sekarang ini dikenal dengan nama Desa Sejegi. Sejak saat itu, tersiarlah kabar bahwa Habib Husin Al-Qadri sudah menetap di Mempawah. Kemudian berdatanganlah penduduk dari berbagai penjuru negeri untuk berguru mempelajari agama Islam.

Mereka datang dengan menggunakan perahu-perahu badung, penjajab, badar dan sekunyar. Perahu-perahu itu diikat di tengah sungai di sebatang galah yaitu batang bambu yang berwarna hijau. Dan ada pula yang menyangkutkan galanya didahan, ranting dan di akar-akar beringin yang ada di sekitar kediaman Habib Husin Al-Qadri.

Lama-kelamaan tempat yang semula dijadikan orang untuk menambat perahu di sebatang bambu dan menggantung gala itu, akhirnya disebut dengan Gala Orang. Dan karena pengucapan bahasa atau dialek kedalam bahasa daerah, maka kata Gala Orang kemudian berubah menjadi Galah Herang.

Galaherang kemudian menjadi nama yang identik dengan tempat tinggal Habib Husin Al-Qadri, sang penyebar agama Islam di Mempawah dan menjadi kota penuntut ilmu



Sumber:
Rap, Lonyenk. (Ed.). 2013. Buaya Kuning. Jakarta Timur: Prameswari.

Baca Juga:
Buaya Kuning - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Panglima Sejati - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Dara Itam - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah
Keris Ajaib - Cerita Rakyat Kabupaten Mempawah